Abu Hurairah r.a pun meriwayatkan bahwa seseorang telah datang kepada Rasulullah saw. Dan berkata,”Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak saya perlakukan dengan baik?” Rasulullah bersabda, “Ibumu.” Dia bertanya, “Setelah itu siapa?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Dia bertanya, “Setelah itu siapa?” Rasulullah tetap menjawab “Ibumu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Lalu siapa lagi Ya Rasul?” Rasulullah pun menjawab “Baru Bapakmu”. (HR Bukhari-Muslim). 
Subhanallah, ada hikmah istimewa yang hendak disampaikan melalui sabda Rasul tersebut. Memang melakoni peran Ibu tidak lah mudah, apalagi dengan ditambah kesibukan seorang muslimah di luar rumah sebagai wanita karier. Namun, semua itu bukan alasan untuk tidak bisa atau pun tidak mau menjadi seorang ibu. Semua bisa dipelajari dan mau memulainya dengan tekad untuk belajar.


Mungkin bisa dikatakan bahwa muslimah yang memilih untuk menjadi wanita karier baik sebelum menikah maupun sesudahnya ada kiranya mereka ingin menunjukkan keeksistensian mereka, atau untuk membantu suami mencari nafkah. Tentu hal ini diperbolehkan, akan tetapi kita harus ingat bahwa wanita sebelum kawin, nafkahnya diwajibkan atas keluarganya dan setelah kawin suami lah yang bertanggung jawab sepenuhnya, walaupun wanita tersebut adalah orang kaya. Hal ini pun merujuk pada arahan  bahwa tetap peran wanita di dalam rumah sangat diharapkan, melahirkan dan mendidik anak-anak mereka etika dan pengetahuan. 
Bagaimanapun juga peran para ibu di rumah sangatlah penting, karena itu Allah memuliakan tugas mereka jika mereka mengemban amanah tersebut dengan baik. Sah-sah saja jika mereka ingin memilih untuk berkarier, namun perimbangan dalam mengurus urusan keluarga di rumah juga harus tetap diupayakan. Dengan begitu kebahagian menjadi seorang ibu tak terabaikan. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Fiqih wanita © 2010. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top